Senin, 28 Januari 2019

Ketika Seorang Gus Ketikung Cinta #19


KETIKA SEORANG GUS KETIKUNG CINTA #19

Malam itu, kira-kira jam 01:00 dini hari, Gus Jalal keluar dari kamarnya menuju dapur untuk membuat kopi. Setelah membuat kopi, Gus Jalalpun membawa kopi itu menuju tangga yang dekat kamar mandi ndalem, lalu menaiki tangga itu sampai ujung tangga. Di situ ada pintu yang di bukanya secara perlahan-lahan, terus keluar, dan itu ternyata adalah dek atap rumahnya yang masih cor-coran. Dari situ ada tangga lagi yang menghubungkan dengan asrama santri putra. Tetapi juga terdapat tangga lagi yang menghubungkan dengan loteng bagian atas sendiri, yang biasanya kalau siang buat jemuran baju, tetapi kalau malam biasanya buat cecangkrukkan para santri.
Gus Jalalpun menaiki tangga demi tangga sampai akhirnya sampai di dek atas asrama santri putra itu. Santri-santripun yang juga berada di situ sudah banyak yang membuyarkan diri, tinggal Kang Ilham yang berada di situ, itupun juga sudah mau melipat karpet yang tadi di buat alas duduknya, lalu di tahan sama Gus Jalal.

Jalal : “Kajenge kang, mangke tak ringkesane kang!”
Ilham : “Injih gus... pangapunten-pangapunten...” (lalu menyalami Gus Jalal dan mencium tangan Gus Jalal) “Dalem nyuwun pamit riyen gus. Assalammualaikum.
Jalal : “alaikumussalam warohmah.”

Lalu, duduklah Gus Jalal di situ  dengan di temani secangkir kopi. Matanya jauh menerawang kelangit bertabur bintang. Semilir angin malam itu benar-benar menyergap sunyi. Mungkin hanya suara jangkrik yang bersautan melantunkan tembang-tembang puji keilahiaan. Lalu, Gus Jalalpun mulai berucap.

Mata ini enggan terpejam.
Sekali engkau mengintai dari jendela embun.
Apa sebenarnya yang ingin engkau lihat.
Apa sebenarnya yang ingin engkau dengar.
Kata indah yang engkau nanti tak jua menyapa diri.
Tak lelahkah engkau berharap. Bukalah matamu wahai hati... dan menangislah.
Tumpahkan sesenggukan kesedihanmu.
Selingan mimpi memanjanya telah habis tersesap waktu.
Bilakah purnama tetutup tirai malam.
Cahaya fikir ini redup memancar secercah biasnya.
Tak tertangkap cinta di ujung kuncup kembang kasmaran.
Layu tak terpetik meski rayu mu menyemat jiwa.
Rintihan hati mulai mengurai di genggam halimun dingin.
Terbawa angin entah ke rimba belantara kata.
Sedangkan aku, bagai orang buangan bersenandung candaan lama menoreh luka.
Kisah cintaku di tertawakan kunang kunang.
Reranting meranti itupun juga bahagia melihat derita ku.
Hanya bumi... dan hanya bumi.
Menaruh iba serasa ingin meredam isak tangis ku di pelukannya.
Nila... aku sangat merindukan mu.
Meski raga mu terbujur kaku.
Suara mu tercekat bibir memucat.
Apa itu akhir cerita cinta kita.
Dan perlukah ku bawakan karangan bunga di batu nisan mu.
Seroja putih telah menaburi wangikan gundukan tanah merah yang menyelimuti mu.
Dan di atas tanah merah itu...
Ku coba tulis kisah cinta kita.
Tapi sayang, saat langit menghapusnya dengan air mata awan.
Karena dia juga tak rela jika aku mengingat secuil mimpi untuk bersama mu.
Telah terbuyar badai semusim padang jiwa, dan sekarang...
Tersenyumlah wahai bidadari.
Engkau telah tenang bermanja dengan TUHAN mu.
Tak usahlah engkau bersedih.
Untuk aku sang musafir kelabu.
Wewangi kasturi masih terpoles di seluruh jasad mu.
Tak bisa ku peluk diri mu lagi meski sekedar bayang.
Kenangan silam dulu masih ku dekap erat sehangat jasad.
Simpul cinta ku mengambang di atap kayu dalam bongkahan liang kubur mu.
Jasad mu berselimut kain putih tak lagi terjamah.
Berjatuhanlah bunga seroja di atas tanah yang memerah berbordir nama mu.
Buat ku makin terlelap di ranjang keheningan alam.
Setitik tetesan sajak ini.
Tak mampu hilangkan sketsa cinta mu dalam bingkai hati ku.
Tak bisa ku sibak tabir berenda sutera menghalangi keterpautan dua hati.
Biarlah... biarlah canting tetap memanja dengan guratannya mencipta batik.
Saat benang kasih menyulam kain seputih cinta.
Hanya di jadikan selembaran kain kafan.
Selimuti diri dari dinginnya sunyi.
Dan di sini... aku merindukan mu.
Ku ingin lihat engkau tetap tersenyum, meski telah jauh di alam sana.
Di saat cinta kita, tersandung di batu nisan.
Ternyata, TUHAN ku lebih mencintai mu di banding aku.

Lalu Gus Jalal pun merebahkan dirinya... dengan berbantal kedua telapak kanannya, kaki kirinya ia tekuk, lalu kaki kanannya di tumpukan pada kaki kirinya (seperti posisi jigrang) dan mulai memejamkan kedua matanya. Sayup-sayup terdengar suaranya berucap : “lirridhoillahi ta’ala wabissyafa’ati rosulillahi shollolhu ‘alaihi wasalam wabissyafa’atil qur’anil ‘adhim.khusushon ila hadrothi Nila Nihayah alfaaaaaatihah.
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ . ﻛٓﻬٰﻴٰـﻌٓـﺺٓ ● ﺫِﻛْﺮُ ﺭَﺣْﻤَﺖِ ﺭَﺑِّﻚَ ﻋَـﺒْﺪَﻩٗ ﺯَﻛَﺮِﻳَّﺎ ● ﺍِﺫْ ﻧَﺎﺩٰﻯ ﺭَﺑَّﻪٗ ﻧِﺪَﺁﺀً ﺧَﻔِﻴًّﺎ ● ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺏِّ ﺍِﻧِّﻲْ ﻭَﻫَﻦَ ﺍﻟْﻌَﻈْﻢُ ﻣِﻨِّﻲْ ﻭَﺍﺷْﺘَﻌَﻞَ ﺍﻟﺮَّﺃْﺱُ ﺷَﻴْﺒًﺎ ﻭَّﻟَﻢْ ﺍَﻛُﻦْۢ ﺑِﺪُﻋَﺂﺋِﻚَ ﺭَﺏِّ ﺷَﻘِﻴًّﺎ ● ............................................. .................................................... ﻓَﺎِﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺴَّﺮْﻧٰﻪُ ﺑِﻠِﺴَﺎﻧِﻚَ ﻟِﺘُﺒَﺸِّﺮَ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﻤُﺘَّﻘِﻴْﻦَ ﻭَﺗُﻨْﺬِﺭَ ﺑِﻪٖ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﻟُّﺪًّﺍ ● ﻭَﻛَﻢْ ﺍَﻫْﻠَﻜْﻨَﺎ ﻗَﺒْﻠَﻬُﻢْ ﻣِّﻦْ ﻗَﺮْﻥٍ ۗ ﻫَﻞْ ﺗُﺤِﺲُّ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻣِّﻦْ ﺍَﺣَﺪٍ ﺍَﻭْ ﺗَﺴْﻤَﻊُ ﻟَﻬُﻢْ ﺭِﻛْﺰًﺍ
Shodaqollohul'adhim.
Al fatihah...
(waladdholin... amin).

Terdengar suara lirih di sampingnya. Lalu Gus Jalal pun membuka matanya sambil menoleh kekiri. Ternyata Kang Ni’am sudah berada di dekatnya.

Jalal : “Lho... kok awak mu maneh tho wonk?”
Ni’am : “Lha sinten malih tho gus, apa arep-arep Ayu Ningrum inngkang ngrengcangi? lak niku kedah nikah riyen tho gus. selain ituuuuu...”
Jalal : “Selain itu apa wonk?”
Ni’am : “Selain itu lakone yo cuma awak dewe thok gus gus.”
Jalal : “Ha ha ha... wes dang turu wonk!”
Ni’am : “Saya ini malah baru bangun tidur gus. Tadi habis magrib ketiduran. Sampek ora ngaji aku. Bocah-bocah yo clolekan, aku ora di gugah.”
Jalal : “Yoiku salah mu wonk. Terus kok tau kalau aku ada di sini?”
Ni’am : “Tadi aku simpangan sama Kang Ilham, dikasih tau kalau jenengan ada di atas sini.”
Jalal : “Ooowwwhhhh.” (sambil bangkit untuk duduk)
Ni’am : “Gus, tadi kok bacaan Al qur’an mu benar-bener menyentuh hati. Agak gimana ngaten gus.”
Jalal : “Itu adalah surat kesukaannya Nila wonk. Dulu dia bilang, kalau aku kangen dirinya... aku cukup lantunkan ayat-ayat Qur’ani. Maka, rasa kekangenan ku sudah tersampai pada dirinya.”
Ni’am : “Nila?”
Jalal : “Huuufffttttt... iya... Nila Nihayah wonk.”
Ni’am : “Terus saniki larene teng pundi gus?”
Jalal : “Mpun menghadap teng ngarso ndalem Alloh. TUHAN ku lebih mencintainya di banding aku.” (matanya mulai berkaca-kaca).
Ni’am : “Innalillahi wainna ilahi roji’un. Pangapunten sanget gus.”
Jalal : “Gak apa-apa kok.”
Ni’am : “Mbak Nila itu sangat special sekali injih gus. Sampek penyambung kerinduaannya tembang-tembang puji Qur’ani. Aku iri gus.”
Jalal : “Lha opo diri mu pengen tak wacake yasin?”
Ni’am : “Ampun gus... saestu ampun gus-gus.”
Jalal : “Yo wes, ayat kursi wae lak ngono.”
Ni’am : “Aku sanes syetan gus.”
Jalal : “Ha ha ha...”
Ni’am : “Lha guyu ngaten, khan raose lebih enak suasananya gus.”
Jalal : “Aku iku tertawa, keinget pertama kali kenal sama Nila dulu pas waktu dia masih kelas 2 di madrotsah aliyah negeri. Alloh karimmm.” (ucap Gus Jalal sambil tersenyum, meski deraian air matanya ingin keluar).

Ni’am  (Ya Alloh guse, Ya Alloh... aku gak sanggup lihat guse kados ngate niku Ya Robb).
Jalal : “Gini wonk tak critain... sewaktu aku masih mondok di ponpesnya Romo Kyai Ahmad, khan pas itu juga liburan pondok. Jadi aku pulang sama teman ku yang biasa di sebut Tongsheng. Itu kalau tidak salah, Insya Alloh hari Jum’at Legi. Kami para santri pulang gandul truk dari jalan dekatnya ponpese Romo Kyai Ahmad. Sampai jalan protokol
banyak santri yang turun. Ada yang naik bus ada juga yang naik angkot, ada juga yang naik ojek. Aku sama Tongsheng tidak turun. Karena truk itu juga satu arah dengan kota ku.”

Lalu, Gus Jalalpun mengambil rokok dan menyalakan korek api membakar ujung rokoknya. Di hisaplah dalam-dalam asap rokok itu. Terus, Gus Jalalpun mengambil rokok lagi. Langsung mengarahkan ke mulut Kang Ni’am. Kang Ni’am yang tau maksud Gus Jalal langsung membuka mulutnya dan menjepitnya dengan kedua bibirnya. Gus Jalalpun menyalakan korek untuk Kang Ni’am. Setelah rokok Kang Ni’am menyala dan menghisapnya dengan sangat nikmat, tiba-tiba Gus Jalal menepuk lengan Kang Ni’am dengan lirih sambil berucap,
Jalal : “Nomere piro?”
Ni’am : “Asem... aku di kiro wong gendheng.”
Jalal : “Ha ha ha...”
Ni’am : “Teruse pripun gus criose wau?”
Jalal : “Aku sama Tongsheng tiba di lampu merah wonk. Aku sama Tongsheng terus naik angkot. Ternyata di dalam angkot itu telah penuh oleh anak siswi MAN. Aku sebenere sungkan mau naik. Tetapi, tiba-tiba tangan ku di tarik oleh calo angkot itu. Dang di suruh masuk. Aku mau protes, siswi-siswi aliyah itu sudah menyuruh aku duduk di belakang. Katanya, yang rumah mereka pada deket-deket. Biar enak turunnya.
Aku sama Tongsheng duduk di belakang wong. Ternyata, di depan ku adalah seorang siswi MAN. Wajahnya dalam balutan jilbab yang cantik. Serasa mata ku enggan terusik. Meski sekedar untuk berkedip. Dirinya anggun, kalem, matanya bening penuh keteduhan. Lalu, aku menundukan wajah ku. Gak kuat aku melihatnya.

Tiba-tiba cewek itu berbicara dengan lembut, “Tongsheng... kamu Tongsheng khan? teman aku waktu SLTP.”
Tongsheng : “Lho... kamu Nila Nihayah khan?”
Nila : “Iya aku Nila, kirain dah lupa?”
Tongsheng : “Iya, tadi masih lamat-lamat mengenali diri mu. Takutnya salah orang.”
Nila : “Gak pernah kelihatan kemana saja?”
Tongsheng : “Mondok Nil... ini juga baru pulang dari pondok.”
Jalal (modyar, kok yo ngomong mondok tho sheng sheng. Kadung muleh ora kopyahan).
Nila : “Terus, itu siapa?”
Tongsheng : “Ya kenalan sendiri, masak gak berani? he he he...”
Nila : “Mase, namine sinten njiiiih?”
Jalal : “Dalem... ba... ba bagus cilik mbak e.”
Nila : “Ha ha ha... lha bagus gedene pundi tho mas?”
Jalal (tersenyum)
Nila : “Thongsheng... besok hari minggu main ke rumah ku yo. Terus mas baguse di ajak. Mas baguse lucu... grogian... ha ha ha...”
Jalal : “Kiri pak sopir...”
Thongsheng : “Ngawur wae... isik adoh iki gus. Mlaku isih 300 meteran.”
Pak Sopir : “Jadi turun nggak nih?”
Tongsheng : “Terus pak?”
Nila : “Xixixixixi... mas baguse lucu.”
Tongseng : “Pemalu itu kalau cewek. Cowok kok pemalu. Ngisin-ngisini aku wae tho gus gus.”
Nila : “Kajenge tho kang. Ampun di gojloki terus tho. Mangke mundak ndingkluk terus keturon mas baguse... xixixi...”
Jalal (cuma tertunduk malu)
Tongsheng : “Kiri pak?”
Pak sopir : “Ok...”

Lalu angkot pun mulai berjalan perlahan lahan. Gus Jalal pun sudah mulai berdiri dengan membungkuk. Tiba-tiba... sssssssssttttt... angkot berhenti mendadak, Gus Jalal pun jatuh menubruk Nila Nihayah, dan tanpa sengaja tangan kanannya memegang sesuatu benda kenyal...
Nila : “AAAAAKKKKKKKHHHHHHHHHHHH.”
Nila Nihayah berteriak dengan kerasnya, Gus Jalal pun bangkit lalu keluar angkot. Menyusul Tongseng yang keluar duluan. Tanpa menoleh, Gus Jalalpun merunduk dan berjalan memasuki jalan menuju rumahnya. “Ngono wonk critane... sampek aku lali ora bayar angkote.”

Ni’am : “Awas tangane... ha ha ha...”
Jalal : Aku khan gak sengojo wonk.”
Ni’am : “Tangane kayak punya mata, ngerti nggon sing pas i lho.”
Jalal : “Aku dewe yo gak ngerti wonk.”
Ni’am : “Iki tenan tho gus?”
Jalal : “Yo tenan tho wonk... percoyo monggo, gak npercoyo njih sak kerso. Iki belum tak critain pas aku lagi di rumah sakit. Tiba-tiba di rangkul cewek. Terus di cewel-cewel pipi ku.”
Ni’am : “Wah rezeki iku gus.”
Jalal : “Rezeki gundul mu, malah aku wedi. Tak pikir pasien RSJ ucul kok.”
Ni’am : “Terus ternyata siapa gus?”
Jalal : “Yo mboh... wong aku di pikir mas nico kok, mas sepupune.”
#bersambung...

Oleh : Ma'arif Wibowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisi-kisi USBN Matematika SD 2019

KISI – KISI USBN SD TAHUN 2019 PROVINSI JAWA TIMUR (SPESIFIKASI) MAPEL : MATEMATIKA NO. SOAL LINGKUP MATERI ...