Senin, 22 Oktober 2018

Ketika Seorang Gus Ketikung Cinta #15


Ketika Seorang Gus Ketikung Cinta #15

Mencos : “Aku sudah curiga dari dulu, bahwa kamu itu adalah seorang gus.”
Jalal : “Ghost buster maksud e.”
Mencos : “Lhak jadi syetan... wwkkkk”
Jalal : “Lha iyo syetan, mangkane iso gumbul karo sing podo syetane.”
Mencos : “Hahaha... wes wes Lex, senep wetengku.”
Jalal : “Senep yo minum bodrex tho bang.”
Ni'am : (tolah-toleh)
Mencos : “Malah bodrex jare.”
Jalal : “Lho, itu biar gak ngelu kepalane gara-gara mikir senepe.”
Mencos : “Mboh Lex.”
Mak : “Aku sampek ndredeg Lex, wedi kuawalat kalau nggak ngajeni anak e  kyai.”
Jalal : “Kyai kok manak tho mak mak.”
Mencos : “Ancen Jalex iku greget ne kok mak. Guaplek i tenan.”
Jalal : “Telo piye, kok gaplek?”
Mak : “Jadi bungkus tidak ini Lex ketannya?” (sambil masuk ke dalam warung)
Jalal : “Jadi mak.”
Mak : “Berapa bungkus?”
Jalal : “Bungkus 7  1/4 mak.”
Mak : “Wooowwww bocah gemblung, tak thutuk entong kowe nko.”
Jalal : “Ngapunten-ngapunten mak, bungkus 7 bungkus saja.”
Mak : “Lha yo ngono. Jalex iki kalau ada greged ne, tetapi kalau gak ada kok yo ngangeni yo an.”
Mencos : “Mungkin, emak itu sudah di dukun kan sama Jalex.”
Mak : “Mosok iyo?”
Jalal : “Ha ha ha... dukun ke emak yo eman-eman duit ku. Wong yoooo... “
Mak : “Iyo opo... ayo dang ngomong.” (sambil angkat entong kayu dengan tangan kanannya)
Jalal : “Mboten-mboten mak... pangapunten.”
Mencos : “Yowes yo, tak tinggal pulang  dulu.”
Jalal : “Gak makan ketan dulu bang?”
Mencos : “Muoh, ketan ne mak e gak enak. Blennyek. Sik gurihan ketan ne bojo ku.”
Mak : “Bocah semprullll... lha kok podo dhenne... reneo cos mencos... tak buandem.”
Mencos : “Ampun maaakkk (sambil lari ). Besok kalau kepasar temui aku Lex...”
Jalal : (tersenyum sambil mengacungkan jari jempolnya)
Mak : “Ini Lex ketannya? Tak imbuhi 1  buat mase itu.”
Jalex : “Lho mak ... mas blawonk wes ikut hitungan ini mak.”
Mak : “Wes tho Lex, gak popo. Mak lagi pengen nguwehi kok.”
Jalal : “Berapa semuanya mak?”
Mak : “Ketan 4 ribu × 7 berartiiii...”
Jalal : “12 ribu mak.”
Ni'am : “Hahaha” (cuma geleng-geleng).
Mak : “Lak malah tekor aku.”
Jalal : “Lha piro tho mak???”
Mak : “Kopi 2 = 7000.   Ketan ne 7 x 4000 = 28.000. Jadi totalnya 35 .000 Lex.”
Jalal : “Ini mak uangnya 50 ribu. Yang 15 ribu tak kasihkan emak.”
Mak : “Lho Lex... piye iki?”
Jalex : “Wes tho mak, gak popo. Jalex lagi pengen nguwehi kok.”
Mak : “Yowes suwun, Lex.”
Jalal : “Pamit dulu mak.”
Mak : “Iyo... sing ati-ati...”
Ni'am : “Dalem njih nyuwun pamit mak .”
Mak : “Iyo-iyo... ati-ati...”

Lalu bergegas lah Gus Jalal dan Kang Ni'am menaiki motor. Kira-kira cuma beberapa meter Gus Jalal menyuruh Kang Ni'am untuk berhenti. Lalu, Jalal pun turun dan kembali menghampiri emak. Emak pun kaget.

Mak : “Ada apa Lex, kok balik. Apa ada yang ketinggalan?”
Jalal : “Ada hal penting yang lupa Jalex sampein sama emak.”
Mak : “Apa itu Lex???”  (menanggapinya dengan serius).
Jalal : “Assalammu'alaikum mak.” (lalu balik badan dan berjalan dengan cepat).
Mak : “Woooowww... bocah gemblung ancene...”

Lalu mak pun menjawab dengan lirih sambil tersenyum, “Wa'alaikum salam... owalah Lex Jalex. Wes tak anggep anak ku dewe awak mu Lex ... mugo-mugo gusti kang moho kuoso, wenehi dalan urip mu sing gampang lan slamet sak teruse... Amiin.”

Lalu, Gus Jalal pun menaiki motor. Sambil menepuk bahu Kang Ni'am.
Jalal : “Ayo wonk cabut.”
Niam : “Injih gus... jenengan niku lho. Kok senang sekali gudho mak e i lho.”
Jalal : “Yo gak gitu wonk. Cuma biar mak e bisa guyu-guyu sitik ngono lho.”
Ni'am : “Terus, kok beli banyak buat siapa tho gus?”
Jalal : “Ya nanti sisanya biar untuk Husna Azkia sama Ayu Ningrum tho wonk.”
Ni'am : “Lha iki... bisa runyam nanti  urusannya.”
Jalal : “Maksud e?”
Ni'am : “Kalau ngasih ketan sama Husna Azkia, mungkin bisa di maklumi gus. Notabene Husna Azkia khan bantu-bantu Bu Nyai Afifah tho. Kalau Ayu Ningrum??? Waduh-waduh gus-gus.”
Jalal : “Husna Azkia khan satu kamar sama Ayu Ningrum tho wooonk. Kalau di kasih 1 apa ya cukup, makanya tak belikan sendiri-sendiri wonk.”
Ni'am : “Nanti kalau Ayu Ningrum e baper gimana gus?”
Jalal : “Ealah wonk... wes mboh wonk. Urusan ketan wae kok ribet tenan tho.”
Ni'am : ‘Ya, masalaheeee...”
Jalal : “Kadung jengkel tak nikah kabeh tiga tiganya.”

Kang ni'am pun kaget, lalu meminggirkan motornya dan berhenti.
Ni'am : “Lho kok tiga-tiganya i lho. Siapa saja gus???”
Jalal : “Nabila Alfiyatuz Zahro, Ayu Ningrum sama Husna Azkia.”
Ni'am : “Hop hop hop... sik sik sik... kok Husna Azkia barang tho gus?”
Jalal : “Makanya,ojo gupuhi aku.”
Ni'am : “Ampun guuuuusss... Husna Azkia jangan yo.”
Jalal : “Lha emange kenapa wonk?”
Ni'am : “Husna Azkia itu wes arep tak sertifikat no.”
Jalal : “Masih arep tho?”
Ni'am : “Saestu gus, jangan Husna Azkia yach yach yach.”
Jalal : “Iyo wes, ojo rewel lho ya.”
Ni 'am : “Siap komandan. Laksanakan.”
Jalal : “Yowes... ayo tancap gase...”

Lalu, melajulah mereka berdua menyusuri jalanan di bawah teriknya matahari. Sekitar 15 menitan. Mereka sudah tiba di pesantrennya Romo Yai Zidnan Ali. Lalu turunlah Gus Jalal di depan rumahnya.

Jalal : “Parkir di tempat biasae wonk.”
Ni 'am : “Siap gus.”
Jalal : “Assalammu'alaikum.”
Bu Nyai : “Wa'alaikum salam.” (balas Bu Nyai dari dalam rumah sambil berjalan terus membuka pintu rumahnya)
Jalal (memcium tangan ibundanya) : “Abah teng pundi buk?”
Bu nyai : “Abah mu lagi siram bagus.”
Jalal : “Ini tadi, yang langganan ketan ibuk tutup. Tak belikan di tempat lain gak apa-apa khan buk?”
Bu Nyai : “Gak apa-apa kok nak. Lho, kok beli banyak sekali  tho?”
Jalal : “Iya buk, nanti buwat kang Ni'am sama siapa itu... yang biasae bantu-bantu ibuk di dapur?”
Bu Nyai : “Oowwh mbak Husna?”
Jalal : “Injih di sukani 2 bungkus nopo 3 ngaten lho buk. Biar nanti di bagi sama teman-teman sekamarnya.”
Bu nyai (tersenyum) : “Iya sudah kalau begitu. Mbak Nabilanya gimana keadaannya?”
Jalal : “Alhamdulillah sudah agak mendingan kok buk.”
Bu Nyai : “Alhamdulillah kalau begitu. Ya sudah, bagus mandi sana, bentar lagi adzan dzuhur lho.”
Jalal : “Injih buk.”

Lalu bergegaslah Gus Jalal untuk mandi. Sehabis mandi, Gus Jalalpun bersiap-siap untuk brangkat ke masjid . Tiba-tiba di dawuhi sama abahnya.
Zidnan Ali : “Baguuuus, nanti habis sholat dzuhur, abah mau bicara sama kamu nak . Jangan kluyuran kemana-mana dulu.”
Jalal : “Injih bah.”
Lalu, Gus Jalal pun keluar rumah. Mau duduk-duduk di teras depan rumah. Sambil menunggu adzan dzuhur. Ternyata Kang Ni'am pun sudah berada di situ dari tadi.

Ni'am : “Gus, ikut aku sebentar gus ke kamar.”
Jalal : “Emank ada apa wonk?”
Ni'am : “Penting gus.”
Jalal : “Ah, ntar sore aja wonk, emank ada apa sih?”
Ni 'am : “Hp nya jenenengan lagi gak aktif  khan?”
Jalal : “Iya, HP ku lagi aku charge. Emang ada apa wonk?”
Ni'am : “Jenengan lagi jadi  TO orang banyak gus.”
Jalal : “Emang siapa wonk yang lagi nyariin aku?”
Ni'am : “Gus Judin, Gus Munjid, Gus Ndah, Gus Khoweish dan Neng 'Iliyin. Jenengan di suruh sowan teng ndaleme Gus Basith.”
Jalal : “Kalau Yai Basith ada perlu biasanya langsung hubungi aku itu wonk. Kalau tidak, ya langsung telpon abah.”
Ni'am : “Ya gak tau aku gus, itu tadi yang ngabari mbak Munadhiroh kok. Katanya, telpon jenengan HP nya lagi gak aktif. Cuma sms aku, suruh nyampaikan ke jenengan, bahwa jenengan di dangu untuk sowan ke Gus Basith.”
Jalal : “Ya mungkin, Yai Basith cuma bilang  Gus Jaha kok gak tau ketok yo.”
Ni'am : “Gus Jaha itu sinten malih gus? Sebenere Gus Basith nopo Yai Basith tho?”
Jalal : “Itu aku wonk. Biasanya, Yai Basith nimbaline Gus Jaha (Jalaludin Ahmad Husein Ali). Yo Kyai Basith, wong due pondok santrine yo akeh kok. Cuma orang-orang  manggilnya Gus Basith.”
Ni'am : ”Hambok tindak mriko tho gus?”
Jalal : “Rumangsa mu... adoh wonk. Tekan kene isih 175 km an. Umpomo mbrangkang yo isih patang wulan  punjul sak crit.”
Ni'am : “Ha ha ha... saged mawon jenengan gus gus... trus ini di balesin gimana gus?”
Jalal : “Bilang sama Gus Munjid, Gus Ndah, Gus Khoweish, Gus Judin dan Neng 'Iliyin, ora usah melok cerito ning kene... ngribeti.”
Ni'am : “Lho kok... lho kok... hahaha... kalau mbak Nadhiroh?”
Jalal : “Bilang sama neng nadhiroh . Guse kyambak nanti yang akan telpon gus basith.”
Ni'am : “Lha kok mboten telpon mbak nadhiroh langsung mawon tho gus?”
Jalal : “Aku bukannya gak mau telpon neng nadhiroh wonk. Cuma aku kwatir.”
Ni'am : “Kwatir nopo gus?”
Jalal : “Neng Nadhiroh iku kalau aku yang telpon gak gelem wes. Ngajak ngomoooong terus.
Tra tatak tak tak tak tak tak
Tra tatak tak tak tak tak tak
Tra tatak tak tak tak tak tak
Tra tatak tak tak tak tak tak
Tra tatak tak tak tak tak tak
Aku kwatir, mengko protol untune.”
#Bersambung

Oleh : Ma'arif Wibowo

Selasa, 16 Oktober 2018

Kisah Teladan (3)

Wanita yang Kematiannya Disambut Para Malaikat


Nusaibah Binti Ka'ab radhiyallahu anha, shahabiyah Anshar yang berhati Baja.
 Hari itu Nusaibah sedang berada di dapur. Suaminya, Said sedang beristirahat di bilik tempat tidur.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh.
Nusaibah menerka, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di kawasan Gunung Uhud.

Dengan bergegas, Nusaibah meninggalkan apa yang sedang dilakukannya dan masuk ke bilik.
Suaminya yang sedang tertidur dengan halus dan lembut dikejutkannya. “Suamiku tersayang”,
Nusaibah berkata, “Aku mendengar pekik suara menuju ke Uhud. Mungkin orang-orang kafir telah menyerang.”

Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak.
Dia menyesal mengapa bukan dia yang mendengar suara itu. Malah isterinya.
Dia segera bangun dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu dia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Dia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang.”
Said memandang wajah isterinya. Setelah mendengar perkataannya itu, tak pernah ada keraguan padanya untuk pergi ke medan perang.
Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju ke utara.
Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya.
Senyum yang tulus itu semakin mengobarkan keberanian Said.

Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas.
Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda yang nampaknya sangat gugup.
“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru sahaja gugur di medan perang.
Beliau syahid…”
Nusaibah tertunduk sebentar,
“Inna lillah…..” gumamnya,
“Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat, Nusaibah memanggil Amar.
Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kaulihat Ibu menangis?.. Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah Syahid. Aku sedih kerana tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi.
Mahukah engkau melihat ibumu bahagia?..”
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.
“Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terhapus.”
Mata Amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku ragu, seandainya Ibu tidak memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah.”
 Putera Nusaibah yang berbadan kurus itu pun terus menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikitpun dalam wajahnya.
 Di hadapan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayahku yang telah gugur.”
Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung hingga petang. Pagi-pagi seorang utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan di medan tempur, mereka menuju ke rumah Nusaibah.
Setibanya di sana, wanita yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan?..” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “Apakah anakku gugur?..”
Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”
“Inna lillah….” Nusaibah bergumam kecil.
Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?..”
Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan?.. Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad yang sedang berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putera seorang ayah yang gagah berani.”

Nusaibah terperanjat. Ia memandang puteranya. “Kau tidak takut, nak?..”
Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng, yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan tentara itu.
Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan  nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya.
Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu Akbar!..”
Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nusaibah.
Mendengar berita kematian itu, Nusaibah meremang bulu tengkuknya. “Hai utusan,” ujarnya, “Kau saksikan sendiri aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diriku yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau wanita, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku wanita?.. Apakah wanita tidak ingin pula masuk ke Syurga melalui jihad?..”
Nusaibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas menghadap Rasulullah dengan mengendarai kuda yang ada.
Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nusaibah.
Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum masanya wanita mengangkat senjata.
Untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”

Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nusaibah pun segera menenteng obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur.
Dirawatnya mereka yang mengalami luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk dan memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba  rambutnya terkena percikan darah. Nusaibah lalu memandang. Ternyata kepala seorang tentara Islam tergolek, tewas terbabat oleh senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini.
Apalagi ketika dilihatnya Rasulullah terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak dapat menahan diri lagi, menyaksikan hal itu.
Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang tewas itu.
Dinaiki kudanya.
Lantas bagaikan singa betina, ia mengamuk.
Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang.
Hingga pada suatu waktu ada seorang kafir yang mengendap dari arah belakang, dan langsung menebas putus lengan kirinya.  Nusaibah pun terjatuh, terinjak-injak oleh kuda.
Peperangan terus  berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga tubuh Nusaibah teronggok sendirian.

Tiba-tiba Ibnu Mas’ud menunggang kudanya, mengawasi kalau-kalau ada orang yang bisa ditolongnya.
Sahabat itu, begitu melihat ada tubuh yang bergerak-gerak dengan susah payah, dia segera mendekatinya.
Dipercikannya air ke muka tubuh itu.
Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Isteri Said-kah engkau?..”
Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya.
Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah?.. Selamatkah baginda?..”
“Baginda Rasulullah tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan?..
Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih terluka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku untuk membela Rasulullah?..”
Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya.
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke medan pertempuran.
Banyak musuh yang dijungkirbalikkannya. Namun karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus oleh sabetan pedang musuh.
Gugurlah wanita perkasa itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah mendung, hitam kelabu. Padahal tadinya langit tampak cerah dan terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak.
Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan?.. Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Subhanallah..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..

Tanpa pejuang sejati seperti dia, mustahil agama Islam bisa sampai dengan damai kepada kita yang hidup di jaman sekarang.
Semoga Allah 'Azza Wa Jalla menempatkan mereka, dan kita semua di Syurga-Nya disamping Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Aamiin..
Apa yang telah kita perbuat untuk menegakkan Dienullah Islam ? 


Kisi-kisi USBN Matematika SD 2019

KISI – KISI USBN SD TAHUN 2019 PROVINSI JAWA TIMUR (SPESIFIKASI) MAPEL : MATEMATIKA NO. SOAL LINGKUP MATERI ...